05/02/2013 03:02:09 PM
BERBAGAI MASALAH DI DUNIA KEDOKTERAN - 3 Bahaya Laten Dokter Indonesia di Masa depan Oleh : Fachmi Idris – Mantan Ketua Umum PB IDI
Jakarta,
Sumber : Pharma Biz Indonesia volume 03 – Edisi 2 tahun 2009. -
Sorotan
terhadap dunia kedokteran Indonesia selalu menarik dibicarakan. Paling
tidak, ada dua masalah yang selalu diperbincangkan. Pertama, dugan
malpraktik dokter, Kedua, Indikasi main mata antara dokter dan
perusahaan farmasi, yang disinyalir menyebabkan tingginya harga obat.
Sebenarnya ada ancaman lain yang mempengaruhi etika pelayanan, yakni
mahalnya biaya pendidikan Kedokteran kita.
Perbincangan tentang
dugaan malpraktik dokter cukup kompleks untuk dijabarkan. Perspektif
kedokteran dan masyarakat umum (layman) selalu menimbulkan debat yang
tidak berkesudahan. Apalagi kemudian dalam kasus tertentu “numpang
hidup†pihak ketiga-oknum profesi lain- yang memanas-manasi melalui
berbagai media massa, satu kasus yang belum tentu malpraktik kedokteran.
1. MEMAHAMI RESIKO MEDIKDasar
masalahnya, masyarakat tidak mau tahu (belum tahu) bahwa dalam tindakan
Deneuve selalu ada risiko yang melekat pada diri pasien, mulai dari
paling ringan (seperti gatal-gatal karena reaksi alergi obat), sampai
yang paling berat (kematian). Artinya, dokter yang bekerja sesuai
standar profesi kedokteran pun tetap saja menghadapi risiko medic
individual yang melekat pada diri seorang pasien. Lain halnya kalau
dokter tersebut bekerja di luar standar profesi kedokteran, kejadian
yang tidak diharapkan, misalnya, terjadi kecacatan dan kematian akibat
praktik, jelas merupakan sebuah kasus yang dapat diindikasikan sebagai
malpraktik.
Untuk membuktikan apakah dokter tidak bekerja sesuai
standar, UU praktik kedokteran telah memerintahkan pembentukan badan
khusus untuk menilai hal tersebut, yaitu Majelis
Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Kepada dokter yang bekerja diluar
standar profesi, jelas akan diberikan sanksi oleh MKDKI, mulai dari
pembinaan sampai dicabut registrasinya. Konsep sanksi, menurut UU ini,
dokter tidak perlu dipenjara apabila bekerja tidak sesuai standar
profesi, karena pada dasarnya dalam sanubari dokter tidak pernah
terlintas untuk bertindak kriminal.
Tujuan dokter adalah menolong
orang sakit. Walau tidak mendapatkan sanksi dipenjara, sanksi
pencabutan registrasi dokter akan jauh lebih berat terasa dari sekadar
masuk penjara. Saksi pencabutan registrasi, misalnya adalah pencabutan
hak hidupnya sebagai dokter dapat seumur hidup sifatnya yang merupakan
sumber nafkah bagi kehidupan keluarganya.
2. DUGAAN “MAIN MATAâ€Tentang
dugaan main mata dokter dengan perusahaan obat, soal ini seperti
masalah “buang anginâ€. Ada baunya, kemudian kita menduga-duga siapa
orangnya, karena sudah membuktikannya. Namun yang pasti Kode Etik
Kedokteran Indonesia menyatakan: dalam melakukan pekerjaan kedokterannya
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Secara khusus disebutkan,
dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu, karena
dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi
borse imitazioni tertentu.
Profesi kedokteran (Ikatan Dokter Indonesia) dan Industri
obat (Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia) sudah membuat kesepakatan
tegas tentang batas kerja sama dokter, mana yang akan merugikan
masyarakat, mana yang tidak. Kalau masyarakat menemukan fakta yang
merugikan, masyarakat dapat melaporkan dokter itu untuk diadili oleh
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia.
3. BAHAYA LATEN BARU: MAHALNYA PENDIDIKAN KEDOKTERANTatapan
mata masyarakat atas kedua masalah di atas belum lagi teroptimalkan
pemecahannya. Kini, dunia kedokteran sebenarnya menghadapi bahaya laten
baru, mahalnya pendidikan dokter, khususnya untuk pendidikan dokter
spesialis. Disinyalir, untuk mengikuti pendidikan spesialis (DSp)
tertentu di beberapa fakultas kedokteran, calon DSp harus menyetor uang
“pengembangan†pendidikan.
Jumlahnya bervariasi bergantung pada
situasi supply dan demand untuk menjadi DSp tertentu. Memang masih perlu
diselidiki lebih lanjut besaran pastinya. Namun, rumor yang kencang
beredar di kalangan profesi kedokteran, jumlahnya ada yang mendekati
satu miliar rupiah! Kalau sekadar 50 sampai 100 juta rupiah, biasa.
Kalau sebesar Rp.300 juta untuk “uang setor†mengikuti pendidikan DSp
“yang basahâ€, sudah jamak. Lalu, apa akibatnya?
Komunitas
kedokteran sepakat bahwa pendidikan yang baik membutuhkan berbagai daya
dukung yang optimal. Daya dukung tersebut membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Kalau dikatakan bahwa pendidikan kedokteran yang berkualitas
itu mahal, sudah memang seharusnya. Masalahnya apakah beban tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik secara individual? Kalau
dasar berpikirnya, seperti ini, maka akan terjadi, pertama,
ketidakadilan kesempatan untuk menjadi DSp. Kedua, bahaya laten praktik
tidak beretika pada masa mendatang.
Ketidakadilan akan terjadi
pada dokter-dokter yang potensial (dengan nilai akademik yang baik dan
riwayat etika tidak cacat), dapat saja hilang kesempatan hanya karena
tidak punya cukup uang untuk mengikuti pendidikan DSp. Pada umumnya
dokter-dokter ini adalah dokter yang memiliki idealism tinggi, yaitu
mereka yang setelah menjadi dokter umum mengabdikan dirinya di daerah
terpencil atau sangat terpencil.
Di daerah-daerah tersebut, sudah
lumrah kalau penghasilan utamanya adalah gaji dari pemerintah.
Mengharapkan penghasilan professional dari praktik kedokterannya,
biasanya agak sulit. Kadangkala, penghasilan utamanya tidak mencukupi
untuk menutupi biaya hidup. Sudah menjadi rahasia umum, misalnya di
daerah tertentu di Papua, harga minyak tanah dan sembako lainnya dapat
mencapai tiga sampai empat kali lipat dibandingkan dengan di daerah
biasa. Transportasi mesti menggunakan pesawat kecil yang harga tiketnya
tidak kecil. Mana mungkin dokter yang mengabdi seperti ini dapat
menabung untuk membayar uang masuk pendidikan DSp.
DOKTER MENGEJAR SETORAN?Bahaya
laten yang justru berbahaya adalah pada etika pelayanan kedokteran masa
depan, karena merasa sudah mengeluarkan banyak uang untuk biaya
pendidikan. Misalnya, uang masuk Rp.800 juta, uang kuliah per semester
Rp.2 juta, uang penggandaan makalah, biaya “jaga malamâ€, dan biaya-biaya
lain yang intangible, yang semuanya akan ditotal sebagai biaya
investasi. Prinsip return on investment akan berlaku. Untuk pengembalian
investasi ini, tidak ada pilihan lain selain bersumber pada penghasilan
praktik profesionalnya.
Dokter spesialis yang baru tamat akan
berpikir “mengejar setoran†untuk mengembalikan investasi. Belum lagi
ditambah tingginya tekanan social yang mengharuskan DSp menjadi kelompok
social khusus di mata masyarakat. DSp yang masih menggunakan sepeda
motor akan dicap lain oleh masyarakat. Akibatnya, dapat mendorong
terjadinya moral hazard dalam praktik. Hal ini sangat mungkin
cosplay kostüme terjadi
dan susah untuk diinvestigasi. Karena cirri khas pelayanan kesehatan
yang dapat meng-induce demand, karena tingginya patients ignorance
memang permasalahan krusial dalam dunia kedokteran dan merupakan sumber
moral hazard utama.
Tradisi sumpah dokter dan penegakan etika
yang selalu ditegakkan, selama ini, memang untuk mencegah hal tersebut.
Sumpah dan peradilan etika mungkin pada masa mendatang tidak digubris
karena DSp merasa wajar melakukan upaya yang bersifat induce demand,
kalau tidak, kapan investasi akan kembali. Induce demand, misalnya,
dalam praktik kebidanan yang secara halus mendorong ibu-ibu untuk
operasi sesar bukan karena indikasi medik, namun lebih kepada indikasi
“lainnyaâ€.
Kalau sampai bahaya laten ini menjadi kenyataan, tidak
dapat dibayangkan bagaimana status kesehatan bangsa pada masa
mendatang. Dokter-dokter yang mengeluarkan investasi besar dapat saja
(dan merasa berhak) untuk tidak mau menjalankan praktiknya apabila
pasien tersebut diperkirakan tidak mampu membayar sesuai dengan tarif
yang diharapkan, karena tidak sepadan dengan investasi yang dikeluarkan.
Akibatnya, sehat sebagai hak dasar rakyat kemungkinan besar tidak dapat
terpenuhi sebagaimana mestinya. Tragis, namun begitulah nanti
keadaannya.
(
RUS - ididkijakarta.com)