05/02/2013 02:41:34 PM
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Jakarta,
Harian Seputar Indonesia, Rabu 24 Oktober 2012. -
Disahkannya UU No.24 tentang BPJS, yang merupakan perintah langsung UU
No. 40 tentang SJSN, telah membawa kabar gembira bagi seluruh lapisan
masyarakat Indonesia, termasuk diantaranya yang mendambakan pelayanan
kesehatan yang berkeadilan social. Betapa tidak, dengan diterapkannya
undang-undang ini per 1 Januari 2014, diharapkan tidak ada lagi
masyarakat Indonesia yang terpaksa harus mengeluarkan uang dari
dompetnya sendiri ketika ia membutuhkan pelayanan kesehatan dasar, baik
di klinik, rumah sakit maupun di fasilitas pelayanan kesehatan
perseorangan lain.
Menurut kedua undang-undang tersebut, mulai
Januari 2014 tersebut seluruh penduduk Indonesia (tak terkecuali dokter)
wajib menjadi peserta jaminan sosial nasional (kesehatan). Akibatnya
mereka diwajibkan membayar iuran jaminan kesehatan ke BPJS. Dengan
ketentuan. Penduduk yang mampu akan membayar sendiri, sementara bagi
yang miskin atau tidak mampu iurannya dibayarkan oleh negara. Karena itu
pembayaran jasa pelayanan kesehatan/honorarium dokter telah dil;akukan
oleh BPJS kesehatan.
Provider kesehatan pun tidak sembarangan,
sebab ia harus bekerja sama dengan BPJS melalui kontrak disertai dengan
persyaratan tertentu yang harus dipenuhinya. Artinya, BPJS harus
betul-betul mengutamakan kepentingan pemilik dana yakni penduduk/pasien.
Bersatunya penduduk dalam BPJS adalah merupakan kekuatan pemilik
fasilitas layanan kesehatan yang sudah lebih dahulu menjadi sebuah
kekuatan baik yang dikelola pemerintah maupun oleh swasta nasional serta
swasta asing.
Mengahadapi dua kekuatan besar di atas, boleh jadi
cheap nike air max mens shoes dokter dan professional kesehatan berada pada posisi sangat lemah.
Dokter dan professional kesehatan yang selama ini diberitakan sangat
kuat karena dapat menentukan berbagai hal dalam pemberian pelayanan
kesehatan tentu akan berubah.
Rumah sakit yang dikendalikan
dengan prinsip bisnis tentu selalu berharap mendapat untung besar dengan
memanfaatkan dokter serta professional kesehatan sebagai pencari
uangnya. Apalagi tumah sakit swasta modal asing di era liberalisasi jasa
kesehatan. Sementara penduduk/pasien (BPJS) akan selalu menuntut
kualitas pelayanan dan efisiensi pembiayaan.
BPJS tidak boleh boros
karena harus amanah, semua penerimaan dan pengeluarannya harus terukur
dan transparan. Pasien melalui BPJS hanya akan membayar jasa
dokter/rumah sakit bila pelayanan yang diterimanya bermutu, sesuai
standar. Karena itu BPJS pun seharusnya membayar honorarium atau jasa
dokter dengan nilai yang pantas pula. Artinya dalam era SJSN, seharusnya
dokter sebagai provider kesehatan tentu tidak boleh dirugikan.
Demikian
halnya dalam ketersediaan dana tentu tidak ada alasan bahwa dana belum
ada atau habis karena semua penduduk telah membayar iuran (tidak ada
kesehatan gratis). Karena itu dana yang terkumpul pun sangat banyak.
Boleh jadi pada tahun-tahun pertama terjadi euphoria penduduk ingin
merasakan pelayanan kesehatan baru. Tapi setelah sistem ini berjalan
dengan baik, kemungkinan besar dalam satu tahun itu banyak penduduk yang
tidak menggunakan dana jaminan kesehatannya atau sangat minim
menggunakannya karena ia rajin menjaga kesehatan (tidak sakit).
Apalagi
kalau dokter dan para profesonal kesehatan telah mengedepankan
pelayanan promotif melalui edukasi kesehatan dan preventif, tentu makin
sedidkit yang sakit dan makin banyak dana yang tidak terpakai untuk
pelayanan kuratif (pengobatan). Karena itu, semakin banyak pula potensi
dana social yang bisa digunakan sebesar-besarnya untuk mempertinggi
derajat kesehatan rakyat Idonesia. Bahkan tidak ada salahnya member
insentif bagi dokter dan professional kesehatan di pelayanan primer yang
paling effisien menggunakan dana karena telah berhasil menyehatkan
penduduk melalui program promotif dan preventifnya.
Dalam era
baru pelayanan dan jaminan spsial nasional kesehatan, dokter dan
profesioanal kesehatan tak mungkin lagi menentukan sendiri tariff
pelayanan yang diberikan kepada pasien. Apalagi meminta bayaran di luar
yang telah ditetapkan, sebab ia bisa ditegur oleh pimpinan rumah sakit
tempatnya bekerja atau rumah sakit itu sendiri yang ditegur oleh BPJS
atas nama pasien.
UU SJSN dan UUBPJS juga mengatakan bahwa BPJS
melakukan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan, bukan dengan
pribadi-pribadi dokter. Meski yang menandatangani kontrak adalah seorang
dokter, ia bertindak dalam kedudukannya sebagai wakil dari pemilik
institusi fasilitas kesehatan/rumah sakit.
Dalam situasi seperti
itu, kita harus bersama-sama mencari jalan keluar terbaik. Dalam arti,
baik bagi dokter Indonesia maupun bagi rakyat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. Berdasarkan UU No.29 tentang Praktik Kedokteran. IDI adalah
satu-satunya organisasi para dokter di Indonesia dengan segala
kewenangan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. Posisi dan
kewenangan IDI tersebut tentu merupakan kekuatan besar bila pengurus IDI
dan dokter Indonesia tahu dan mampu menggunakannya secara tepat, benar
dan baik.
Kekuatan lain yang seharusnya perlu dipikirkan adalah
bagaimana agar dokter Indonesia bisa menjadi pemilik-pemilik kesehatan
(mulai dari klinik sampai rumah sakit). Dokter Indonesia jangan hanya
berpikir menjadi dokter atau menjadi dokter ahli dan setelah lulus
kemudian bekerja di rumah sakit besar lalu menjadi mesin pencari uang
para pemilik rumah sakit. Kenapa dokter Indonesia tidak berpikir untuk
menjadi pemilik jejaring fasilitas kesehatan dan bekerja di jejaring
fasilitas milik sendiri sebelum semua jejaring yang bak “pukat harimauâ€
itu dikuasai pihak lain ?. Selain itu, kenapa pula dokter Indonesia
(dokter umum dan dokter spesialis) tidak bekerja secara berkolaborasi
sebagaimana halnya klinik-klinik pelayanan primer dibuat berkolaborasi
dan berjejaring dengan rumah sakit-rumah sakit yang semuanya milik
bersama dokter Indonesia?
Tentu saja mimpi-mimpi di atas tidak
mudah diwujudkan. Apalagi semua orang tahu, sudah terlalu lama sikap
individualism mengikis jiwa dan pikiran kebersamaan dokter Indonesia.
Walau pasti maasih banyak yang tetap berusaha mempertahankan semangat
kebersamaan dalam suasana kesejawatan, yang perlu dibangun bukan sekedar
perasaan sejawat, tetapi juga bagaimana membangun semangat kebersamaan
dan kepemilikan faslitas pelayanan kesehatan bersama. Juga bagaimana
agar dokter Indonesia dapat berpraktik berjejaring dalam semanagat
kepemilikan bersama ini.
Karena itu melalui tulisan ini penulis
mengajak dokter dan para professional kesehatan Indonesia untuk kembali
memikirkan praktik berjejaring, berkolaborasi, bersatu di dalam
prinsip-prinsip koperasi. Koperasi adalah warisan luhur bangsa Indonesia
dan tertera dengan jelas di dalam konstitusi negara. Pendanaan dan
konsep kepemilikan bersama fasilitas-fasilitas kesehatan seharusnya
dapat difasilitasi dan ditumbuhkembangkan di bawah koperasi milik dokter
Indonesia yakni Primer Koperasi IDI.
Koperasi IDI yang berdiri
sejak 2001 itu bukanlah institusi yang tertutup, sebagaimana koperasi
pada umumnya. Karena itu, seharusnya mereka bisa bekerja sama dengan
lembaga keuangan lain yang memiliki semangat yang sama yakni
memgakomodasi semangat kolektivitas dan kesejawatan professional
kesehatan. Bahkan lebih dari itu, seandainya dokter-dokter Indonesia
yang berjumlah 100.000 ini “mau bersatuâ€, menyimpan dana, anggaplah
Rp.20.000 perbulan, maka dalam setahun terkumpul Rp.24 milyar. Modal
sebesar ini bila dikelola dengan baik dapat untuk membangun jejaring
klinik pelayanan primer milik bersama dokter Indonesia. Penulis sangat
yakin bahwa di masa depan, dokter Indonesia bisa menjadi dokter-dokter
mandiri, bekerja di fasilitas milik sendiri. Konsep kepemilikan bersama
yang difasilitasi koperasi akan sangat berbeda dengan kepemilikan
pribadi yang cenderung dikelola dalam kerangka bisnis semata, yang
menempatkan pasien sebagai objek bisnis.
Sebagai ilustrasi, pada
suatu waktu terjadi selisih paham antara pemimpin China mao dengan
pemimpin Soviet. Perselisihan makin panas, hingga Pemerintah Soviet
mengeluarkan pernyataan; “meskipun rakyat China harus berbagi 1 celana
dalam untuk 2 orang. China tetap saja tidak akan mampu membayar
utangnya.†Pernyataan tersebut sangat menyinggung perasaan pemimpin
China. Lalu Mao menyampaikan penghinaan itu kepada rakyatnya secara
terus-menerus ke seluruh penjuru negeri sambil mengajak rakyat untuk
bangkit dan melawan dengan cara berkorban. Mao mengajak rakyatnya
“menyisihkan sebutir beas untuk Chinaâ€. Hanya sebutir beras setiap
anggota keluarga setiap kali mereka akan memasak. Ketika itu penduduk
china berjumlah 1 miliar jiwa. Alhasil dalam waktu cepat, terkumpul
banyak sekali butiran-butiran beras yang siap dijual untuk digunakan
membayar utang kepada pemberi utang yang menghinanya.
Fenomena
sebutir beras di atas hanya bisa terkumpul karena konsolidasi yang
terus-menerus dari seorang pemimpin yang kemudian menumbuhkan semangat
kebersamaan dan rasa nasionalisme akibat adanya penghinaan. Saya yakin
dokter Indonesia pun dapat memupuk rasa kebersamaan dalam gerakan
berkoperasi, mengumpulkan dana untuk kepentingan mereka sendiri, meski
tidak harus mengalami penghinaan sebagaimana yang dirasakan rakyat
China.
Karena ini membangun kepemilikan bersama dalam jejaring
fasilitas kesehatan adalah salah satu upaya dokter Indonesia untuk bisa
keluar dari kemungkinan terhimpit oleh sejumlah kekuatan besar. Atau
paling tidak sebagai upaya memperbaiki posisinya agar bisa setara dengan
kekuatan besar yang ada. Wallahua’lam bissawab.
(
RUS - ididkijakarta.com)